Wild Landscape

Malang Kota Genangan

Penulis: Eko Widianto, Ilustrator: Badrut Tamam


Setiap musim hujan, sejumlah titik di Kota Malang tergenang. Padahal Malang berada di dataran tinggi dan dilintasi empat sungai besar, termasuk Kali Brantas. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur, alih fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi salah satu penyebabnya.


Terakota.id --Setiap hujan deras mengguyur, rumah pasangan suami istri Sugeng dan Sri Utami selalu terendam air. Ketinggian air bisa mencapai sekitar 1,5 meter. Mereka sudah tinggal di rumah itu selama 10 tahun.

Dua tahun lalu, sepekan setelah Sri Utami melahirkan anak ketiganya lewat operasi sesar, air kembali menerjang rumah hingga merendam ranjang. Saat itu, Sugeng tengah bekerja. Sendirian, Sri Utami menggendong bayi dan meletakkannya di atas sebuah papan. Tetangga yang melihat, awalnya berteriak, tetapi kemudian menolong.

Bayi mereka diselematkan ke rumah tetangga yang tak terendam air. Selang beberapa hari kemudian, Wali Kota Malang Sutiaji datang ke rumahnya. Ia melihat kondisi rumah yang terendam banjir sekaligus memberi bantuan. “Saya diberi uang tunai Rp 2 juta,” katanya.

Banjir juga menyebabkan sejumlah perabot rumah tangga rusak terendam banjir. Mulai alat penanak nasi, kompor, hingga televisi. Puncak banjir, katanya, terjadi pada Januari dan Februari. “Percuma sambat (mengeluh), tak ada perubahan. Ya, diam saja,” ujar Sugeng.

Wild Landscape

Percuma sambat (mengeluh), tak ada perubahan. Ya, diam saja,

Sugeng tak sendirian, puluhan keluarga di RT 3 RW 3 Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang juga bernasib sama. Setiap pekan selama musim hujan, mereka selalu mengantisipasi saat rumah diterjang banjir. Menurut Supriyadi, salah seorang warga Tanjungrejo, banjir kerap menerjang wilayah permukimannya sejak 1993.

“Banjir sejak pohon-pohon di Lambau ditebang,” katanya. Lambau atau landbow (pertanian) merupakan sebutan bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP). Genangan air semakin tinggi, katanya, sejak kawasan tersebut dibangun permukiman mewah Ijen Nirwana dan hotel Ijen Suite Hotel.

Untuk menghalau air masuk ke rumah, Supriyadi memasang partisi di pagar rumah. Meski dihalangi partisi, air tetap masuk rumah jika genangan air semakin tinggi. “Saya di sini sejak lahir,” kata Supriyadi.

Dulu, katanya, Kali Kutuk kadang meluap namun tak sampai membanjiri rumah penduduk. Saat musim hujan, seluruh pakaian ia kosongkan dari dalam lemari dan ditempatkan di perabot rumah tangga yang lebih tinggi. Kasurnya juga ditinggikan, agar tak terendam air.

Berbagai barang elektronik diletakkan di atas meja yang lebih tinggi. Tahun 2010, sebuah komputer jinjingnya rusak, terendam banjir. Rumah yang terendam banjir selama musim penghujan kerap dilaporkan ke kelurahan setempat. Namun, sampai saat ini tak ada solusi. Genangan air terus mampir saban tahun di rumahnya, biasanya berlangsung selama sejam.

Saat rumahnya terendam air, kata Supriyadi, petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang datang saat surut. Kadang, warga juga mendapat bantuan berupa sembako. “Sembako bukan prioritas. Yang paling dibutuhkan solusi agar rumah tak tergenang saat hujan,” ujarnya.

Dulu, Kali Kutuk kadang meluap namun tak sampai membanjiri rumah penduduk. Saat musim hujan

Wali Kota Malang Sutiaji sempat berkunjung dan berjanji akan melakukan pengerukan badan sungai. Namun, tahun lalu ternyata hanya dilakukan kegiatan membersihkan sampah plastik di aliran Kali Kutuk.

Saat dikonfirmasi Sutiaji menyatakan pengerukan badan Sungai Kutuk batal dilakukan. Lantaran pengerukan justru akan menimbulkan masalah baru.“Pengerukan sungai sampai ke Bareng, dikhawatirkan akan menyebabkan rumah-rumah di sana menggantung. Harus ditangani bertahap,” kata Wali Kota Sutiaji kepada jurnalis Kamis, 1 Januari 2022.

Menurut Sutiaji, genangan merupakan problem yang luar biasa di Kota Malang. Setiap tahun sejumlah titik drainase ditangani, namun muncul persoalan di titik lain. “Sehinga tahun ini disusun blue print, agar tahu eksisting drainase-nya,” kata Sutiaji.

Alih Fungsi Hutan Kota Tanjung

Bintoro pegiat Forum Masyarakat Tanjung (Format) menyebut penyebab utama banjir di Tanjungrejo akibat alih fungsi kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP). Warga lebih mengenalnya Lambau yang berasal dari bahasa Belanda, Landbouw artinya pertanian. Warga juga lebih mengenal dengan sebutan hutan kota Tanjung.

Hutan kota Tanjung seluas 28,5 hektare saat itu menjadi satu-satunya paru-paru kota yang tersisa, sekaligus menjadi buffer zone atau zona penyangga Kota Malang. Bertahun-tahun, katanya, warga Tanjungrejo menolak alih fungsi hutan kota Tanjung menjadi permukiman mewah dan hotel. “Kami menolak karena alih fungsi lahan melanggar Perda RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah),” katanya.

Selain itu, warga khawatir permukiman penduduk terancam banjir saat alih fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) hutan kota APP Tanjung tersebut. Mereka melakukan aksi unjukrasa menolak pembatatan pohon di hutan kota pada 2002. “Kami berdiri di depan menghadang ekskavator yang meratakan tanah,” katanya.

Kami berdiri di depan menghadang ekskavator yang meratakan tanah.

Hutan kota Tanjung tumbuh sebanyak 128 jenis pepohonan, heterogen. Selain itu, menjadi habitat bagi 36 spesies burung langka. Tiga jenis lainnya merupakan burung endemik Jawa, dua jenis burung dilindungi, dan satu jenis burung yang terancam punah. Selain itu, juga ada perkebunan kopi, kakao, sawit, ladang jagung, hamparan sawah, dan lapangan rumput terbuka.

Hutan kota Tanjung, katanya, harus dipertahankan karena kawasan ini merupakan RTH yang menjadi paru-paru kota, daerah resapan air, sumber air dan tandon air. Selain itu menjadi hutan yang berisi vegetasi homogen dan heterogen yang mencegah erosi.

Aneka ragam tanaman langka serta keanekaragaman hayati, katanya, berpotensi sebagai sumber plasma nutfah yang tak ternilai. Selain itu, juga menjadi tempat observasi atau penelitian untuk alternatif pangan, industri, dan obat-obatan.

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur Simpul anggota Malang, Purnawan Dwikora Negara menilai hutan kota APP Tanjung, katanya, tak hanya menyangkut persoalan lingkungan, tetapi juga berkaitan dengan dinamika sosial-budaya dan sejarah Kota Malang. Hutan kota Tanjung berdiri sejak zaman Hinda Belanda. Masyarakat Tanjung, katanya, kehilangan ruang publik sejak menjadi permukiman mewah.

Pembangunan kota berkelanjutan, katanya, seharusnya tidak sekadar berorientasi keuntungan ekonomis jangka pendek. Namun mengorbankan kebutuhan warga terhadap ruang terbuka hijau. Sehingga berdampak terhadap krisis lingkungan seperti penyediaan udara bersih, dan air tanah yang memadai. Bahkan menimbulkan bencana seperti banjir, tanah longsor, dan tanah ambles.

Wild Landscape

Berdasarkan inventarisasi WALHI Jawa Timur, RTH yang tersisa di Kota Malang antara lain taman kota Malabar, Alun-alun Tugu, Alun-alun Merdeka, dan Lapangan Rampal, serta bantaran sungai di sepanjang Sungai Konto, Bango, dan Amprong. Sedangkan RTH di DAS Brantas menjadi permukiman mulai Kota Lama hingga Gadang.

Banjir yang menerjang Kota Malang kemarin (11/12/2018) mengakibatkan beberapa kerusakan. Salah satu paling parah adalah RM Ringin Asri yang terletak di Jl Sukarno Hatta Kota Malang.

Pemilik Rumah Makan Ringin Asri, Hariadi tak bisa melupakan banjir yang merendam tempat usahanya pada 11 Desember 2018. Ia mengaku merugi hingga Rp 200 juta, lantaran bangunannya rusak. Atap rumah makan ambrol, meja dan kursi hanyut terbawa banjir. “Banjir tak pernah separah ini,” katanya.

Ia menduga lantaran terjadi alih fungsi lahan di kawasan Jalan Borobudur dan Sukarno-Hatta. Bahkan sejumlah ruko dibangun menggusur saluran drainase di samping rumah makan yang didirikan.

Banjir Terparah Sepanjang 20 Tahun Terakhir

Sepanjang 2021 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang mencatat ada 20 titik banjir dan lima titik longsor. Sebanyak 200-an rumah terendam, ketinggian air antara 20-110 centimeter. Seorang warga meninggal pada 18 Januari 2021. Tergulung longsor hingga terseret arus sungai sejauh 40 kilometer. Jenazah ditemukan di Bendungan Sengguruh, Kabupaten Malang.

Ketinggian banjir bervariasi antara 20 centimeter hingga 110 centimeter. Selain itu, banjir bandang di kawasan hulu sungai Brantas di Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu juga berimbas ke Malang. Ratusan rumah di bantaran sungai Brantas terendam banjir dan sejumlah rumah hanyut terseret banjir. Sebanyak 200-an jiwa mengungsi di aula Taman Wisata Senaputra.

Wali Kota Malang Sutiaji menyebut banjir kali ini merupakan yang terparah sepanjang 20 tahun terakhir. Bencana hidrometrologi, katanya, sudah diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). “Bencana hidrometrologi juga mengancam Kota Malang. Banjir ini paling parah,” katanya.

Wild Landscape

Bencana hidrometrologi juga mengancam Kota Malang. Banjir ini paling parah.

Sutiaji mencatat seluas 607 hektar kawasan permukiman berhimpitan dengan sungai, rawan banjir dan tanah longsor. Ribuan rumah, kata Sutiaji, yang dibangun di atas tanah di sepanjang sepadan sungai. “Kita tidak taat regulasi, wilayah yang seharusnya tak ada bangunan tapi tetap didirikan bangunan,” katanya.

Bahkan ada rumah yang menggantung, berdiri di atas saluran drainase dan sungai. Termasuk sejumlah permukiman di kawasan Kampung Biru, Kampung Putih, Kampung Tridi dan Kampung Warna Warni. Bagaimana dengan penanganan kampung tersebut, termasuk Kampung Warna Warni? “Saya tak bisa ngomong,” katanya.

Banjir Kota Malang dari 2016 - 2020.

Selain terjadi penyempitan badan sungai, juga terjadi pendangkalan. Sutiaji memerintahkan BPBD, Dinas Lingkungan Hidup dan Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) untuk mengeruk sungai yang terjadi pendangkalan.

RTH didirikan rumah, siapa yang mendirikan? Kadang ada izin.

Sutiaji menjelaskan banjir di kawasan Jalan Sukarno-Hatta lantaran tak ada saluran drainase yang mengalir ke kawasan Kedawung, dan Tulusrejo. Selain itu, air tak bisa mengalir ke sungai Brantas lantaran di depan kampus Politeknik Malang (Polinema) lebih tinggi. Sehingga air meluber, bahkan ke jalan utama Sukarno-Hatta. “Banjir harus ditangani hulu dan hilir,” katanya.

Peta titik banjir, Sungai dan Pemukiman.

Kini, tengah dirancang sudetan di Jalan Borobudur melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 120 miliar. Sudetan dengan kemiringan sampai 11 meter. “Jika sudetan selesai, banjir di Tulusrejo, Glintung bisa teratasi,” katanya.

Sedangkan titik banjir di Kelurahan Sumbersari, Klaseman, dan Jalan Tidar jika saluran dengan sistem jacking selesai. Pengerjaan proyek terhenti, dan masih dalam sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Sementara di kawasan Kelurahan Bareng, tengah dilakukan kajian untuk menyelesaikan banjir di sana. Lantaran banjir terjadi puluhan tahun. Sutiaji mengakui jika RTH publik tak sampai 10 persen.

Data Dinas Lingkungan Hidup luas taman seluas 109.487 meter persegi, hutan kota di 11 titik seluas 71.793 meter persegi, dan kebun bibit seluas 5.800 meter persegi. Sehingga Pemerintah Kota Malang memperbanyak sumur resapan. Saat ini dibangun 1.000 sumur resapan untuk menyerap air hujan.

Kepala BPBD Kota Malang, Ali Mulyanto menjelaskan selama musim hujan disiagakan Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD terdiri atas 20 personil. Mereka bersiaga setiap saat. Selain itu, juga tengah dilakukan kajian risiko bencana hidrometrologi. Tanah longsor rawan terjadi di sepanjang Sungai Brantas, Bango dan Metro.

Banjir rutin terjadi di 18 titik. Tidak ada manajemen tata kelola air hujan.

Seharusnya, air diinjeksikan ke dalam tanah sehingga air cekungan tanah meningkat.

Peyebab banjir, katanya, karena tata guna lahan, kurang berfungsi maksimal sungai, drainase, dan saluran air. Selain itu, kebiasaan membuang sampah dan bangunan yang melanggar sepadan sungai. “Boezem (waduk menampung limpasan air) yang telah dialihfungsikan menjadi bangunan harus diganti,” ujarnya.

Wild Landscape

Untuk mengantisipasi genanangan di Kota Malang, Kepala PUPR Kota Malang Dinas Diah Ayu Kusuma Dewi menyatakan telah membuatkan sudetan-sudetan di beberapa lokasi. Meliputi Jalan Candi 3, Jalan Ki Ageng Gribig 5, dan Jalan Vinolia. Selain itu, juga tengah dirancang masterplan drainase di Kota Malang. Selain itu juga dilakukan normalisasi saluran, dan pengerukan sedimen dengan membersihkan sampah yang menyumbat saluran air.

“Masterplan drainase bekerjasama dengan perguruan tinggi. Lebih dari 30 lokasi yang kita sentuh,” katanya. Para ahli drainase, katanya, akan membantu memecahkan persoalan drainase perkotaan (urban drainage) di Kota Malang.

Selain itu juga dilakukan survei primer penyusuran sungai dan saluran untuk mendapatkan data primer. Agar mendapatkan koordinat yang pasti, untuk data aliran existing. Kemudian saluran dilakukan rekayasa agar tak terjadi banjir. Apakah perlu saluran baru, apakah perlu ada boezem.

Curah Hujan Tinggi

Prakirawan Stasiun Klimatologi Karangploso, Badan Meteorologi Klomatologi dan Geofisika Meilani menjelaskan saat terjadi banjir dan longsor di Kota Malang, terjadi hujan dengan intensitas sedang sampai lebat. Kriteria lebat, katanya, terukur curah hujan 50 milimeter sampai 100 milimeter per hari. Sedangkan jika sangat lebat antara 100 mililiter sampai 150 mililimeter per hari.

“Kemarin cukup lebat meski singkat. Curah hujan dengan intensitas lebat menyebabkan banjir,” katanya. Untuk itu, pemerintah setempat harus mengantisipasi potensi curah hujan tinggi sampai Februari 2021.

“Informasi cuaca selalu disampaikan kepada Pemerintaah untuk kewaspadaan,” ujarnya. Peluang terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan cuaca ekstrem sehingga menyebabkan banjir dan longsor.

Banjir Kota Malang dari 2018 - 2020.

BMKG mencatat sebagian besar wilayah Indonesia atau sekitar 94 persen dari 342 Zona Musim telah memasuki musim hujan. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal dalam laporan tertulis meminta semua pihak mewaspadai potensi cuaca ekstrem yang cenderung meningkat dalam periode puncak musim hujan.

Dalam beberapa hari kedepan, katanya, dinamika atmosfer tidak stabil dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah Indonesia. Kondisi ini dipicu menguatnya Monsun Asia yang ditandai dengan semakin kuatnya aliran angin lintas ekuator di Selat Karimata.

Sehingga meningkatkan pertumbuhan gugus awan yang berpotensi menimbulkan curah hujan tinggi. Sehingga 18 hingga 24 Januari 2021 berpotensi terjadi cuaca ekstrem yang menimbulkan bencana hidrometeorologi.

Pakar perencanaan tata kota atau Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang Agustina Nurul Hidayati menjelaskan banjir terjadi karena Malang berada di kelerengan sehingga mendapat limpahan air dari atas di Kota Batu. Mengakibatkan runoff atau limpasan air di permukaan yang turun tanpa batas. Volume air besar sehingga menggenangi wilayah Kota Malang. Air yang berasal dari lereng, memiliki arus kuat.

Yang dilihat tidak di Malang saja, Kota Batu juga banyak berubah. Banyak kawasan terbangun.

Untuk itu, dibutuhkan peran serta Pemerintah Provinsi untuk menata dan mengkomunikasikan persoalan ini. Lantaran runoff juga membawa kayu yang berpotensi menggerus badan sungai dan jembatan.

“Bisa merusak pondasi jembatan,” katanya. Selain itu, terjadi alih fungsi lahan sejumlah saluran drainase tertutup bangunan rumah dan rumah toko (Ruko). Selain itu, Banyak ruang hijau seperti persawahan dan kebun berubah menjadi kawasan permukiman. Pembangunan harus disesuaikan dengan RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK).

Padahal permukiman maksimum bangunan 40 persen dari lahan yang ada. Sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan RTH di perkotaan paling sedikit 30 persen dari luas wilayah. Sementara di Kota Malang, diakui belum memiliki luas RTH yang sesuai. “Ini penyakit lama, sungai di Jalan Borobudur menjadi trotoar,” katanya.

Pengalaman penanganan permukiman kumuh di Bozem Morokrembangan di Surabaya. Bangunan rumah diubah menghadap bozem dan mundur hingga dua meter. “Memang prosesnya panjang. Sejumlah kawasan di Malang bisa mencontoh Surabaya,” katanya.

Bagaimana penganan banjir di Malang? Nurul mengusulkan minimal semua rumah harus memiliki sumur resapan. Sedangkan setiap perumahan wajib membangun sumur injeksi yang minimal diameter satu meter. “Wali Kota Malang sudah mengeluarkan Surat Edaran pada 2020, Kelurahan wajib menganggarkan sumur injeksi,” katanya.

Nurul yang juga anggota Tim Pertimbangan Percepatan Pembangunan Daerah Kota Malang mengakui jika banyak bangunan melanggar sepadan sungai dan dibangun di atas sungai. Seperti permukiman di Bunul yang longsor, berdiri di sempadan sungai Bango. “Sempadan sungai antara 15 meter meter sampai 100 meter tergantung kedalaman sungai,” ujarnya.

RTH Terus Menyusut

Total RTH di Kota Malang seluas 2,8 persen dari luas wilayah Malang 110,08 kilometer persegi. Sedangkan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Perkotaan RTH minimal 30 persen dari total luas wilayah. Terdiri atas 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat.

Purnawan menuding jika Pemerintah Kota Malang yang merusak dan melanggar sendiri Peraturan Daerah tentang RTRW. Pelanggaran dimulai sejak alih fungsi sejumlah RTH. Meliputi Taman Indrokilo menjadi perumahan mewah pada 1990-an. Dilanjutkan alih fungsi boezem atau waduk menampung limpasan air dalam kota di Pulosari menjadi gelanggang olahraga (GOR) Pulosari.

Kampus Sekolah Usaha Peternakan Menengah Atas (SNAKMA) menjadi pusat perbelanjaan, dan taman kunir menjadi kantor kelurahan. Selain itu, stadion luar Gajayana juga diubah menjadi pusat perbelanjaan. RTH sesuai Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW Tahun 2010-2030 secara ekologis fungsinya sebagai pengatur iklim mikro yang menciptakan kesejukan.

Sayangnya fungsi penting itu tak berjalan, bahkan dilanggar. RTH digusur untuk ruang ekonomi. Pemerintah Kota Malang juga tak tegas dalam menegakkan peraturan. Bangunan yang menutupi sungai tidak ditindak dan diberi sanksi. “Terjadi pembiaran. Pemerintah juga memberi contoh pelanggaran atas RTRW yang dibuat,” katanya.

Komitmen eco-policy birokrasi di Malang, katanya, sangat rendah. Dilihat dari inkonsistensi atau ketaatan terhadap aturan tata ruang dan mudahnya memberikan izin atas ekploitasi RTH. Muara inkonsitensi atas tata ruang, katanya, dengan sentuhan ruang ekonomi sangat kuat. Indikasinya kawasan perdagangan cenderung dipusatkan di sisi Malang Barat yang padat pertokoan, perkantoran, dan perumahan. Bahkan kawasan pendidikan dijejali dengan ruang-ruang ekonomi mal.

Catatan Alih Fungsi RTH Kota Malang
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Malang terus menyusut.
Sejumlah RTH beralihfungsi menjadi ruang terbangun mulai menjadi perumahan mewah, pusat perbelanjaan, dan hotel.
Berikut rangkuman alih fungsi RTH di Malang mulai 1970.

  • Era Wali Kota Malang Sugiono

    • Waduk resapan atau boezem yang dibangun sejak Hindia Belanda di Jalan Pulosari dialihfungsikan menjadi bangunan Gelanggang Olahraga (GOR) Pulosari.
    • Boezem di Jalan Kawi dialihfungsikan menjadi gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Malang.
  • Era Wali Kota Malang M. Soesamto

    • Taman kota di depan Pemakaman Kristiani Sukun dibangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
  • Era Wali Kota Malang Peni Suparto

    • Kampus SNAKMA beralihfungsi menjadi Malang Town Square (MATOS) dan hotel Aria Gajayana pada 2005.
    • Stadion luar Gajayana dibangun Malang Olimpic Garden (MOG) dan Hotel Aria Gajayana pada 2008.
    • Taman Kunir dibangun kantor Kelurahan Oro-oro Dowo pada 2008.
    • Taman Kunir dibangun kantor Kelurahan Oro-oro Dowo pada 2008.

Selain itu, kata Purnawan, para cendekiawan turut menjadi bagian dari alih fungsi. Arsitek dan pakar tata kota tidak kritis bahkan ikut bagian dalam alih fungsi lahan. Terjadi erosi nilai-nilai penghormatan terhadap lingkungan dan RTH. Akademikus juga berkontribusi karena membiarkan dan tidak berani bersuara.

“Paradoks, dengan Malang Kota pendidikan. Prihatin,” ujar Purnawan. RTH dalam perspektif sosial budaya dan ekonomi, katanya, seharusnya ditekankan sosial budaya 60 persen selebihnya ekonomi. Jika RTH penekanan utamanya peningkatan ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Peta RTRW Kota Malang (sumber: Si Petarung )

Seharusnya, ujar Purnawan, RTH dikelola dengan sentuhan sosial dan budaya. Melibatkan budayawan sehingga akan menempatkan tata ruang yang humanis. Hidup. Dengan melibatkan budayawan, tidak akan menjadikan Kota Malang dengan memalangkan malang. Tetapi akan menjadi Malang Kucecwara sesuai slogan Kota Malang, yang artinya Tuhan mengahncurkan yang batil.

“Menjadi nilai, spirit Malang. Secara kultural, moralitas dan budaya,” katanya. Selain itu, juga menyediakan ruang untuk fasilitas pendidikan seperti memperbanyak museum, dan perpustakaan. Bukan justru memperbayak pusat perbelanjaan atau mal. Memperkaya wawasan penyelamatan ruang dan budaya, bukan eonomi.

Dalam RTRW Kota Malang, katanya, seharusnya, 60 persen ruang sosial dan budaya selebihnya 40 persen ruang ekonomi. Namun, yang terjadi sebaliknya, banyak dibangun ruang ekonomi. Ketika RTRW menekankan ekonomi, maka kawasan terbangun lebih banyak memfasilitasi ruang ekonmi. Sehingga terjadi erosi kultural.

Malang tak perlu menjadi kota metropolitan dengan simbol banyak mal. Lantaran akan menjadikan Malang bernasib semakin “Malang”, seperti plesetan kota metropolis dunia seperti “Chicago menjadi Sickago, Frankfurt menjadi Krankfurt, Los Angeles menjadi Lost Angels, Houston menjadi Ghost Town, Indianapolis menjadi India-no-place atau Washington DC menjadi Washington Dysfunctional City”.

Ketika kornea mata telah menjadi mata uang, nurani tidak bisa lagi melihat dengan terang. Karena yang terlihat semuanya adalah uang.

Purnawan menilai seharusnya tak ada genangan di Kota Malang, lantaran Malang berada di dataran tinggi. Kota Malang berada di ketinggian 506 meter di atas permukaan laut (mdpl). Selain itu, Kota Malang dilintasi empat sungai besar, salah satunya sungai Brantas. “Malang dataran tinggi, Malang menjadi kota genangan jadi pertanyaan besar. Ada apa?,” tanya Purnawan.

Malang memperoleh air dari suplai Kabupaten Malang dan Batu. Lantaran tidak ada titik mata air kecuali di Joyogrand, dan Glintung. RTH menjadi jaringan pematusan di Malang tak lagi bersifat menyalurkan air hujan ke selokan kemudian ke sungai dan laut. Namun, menata Malang dalam tata ruang menjadi go blue dengan menabung air.

Saluran air banyak yang tersumbat, air hujan yang disalurkan ke selokan seharusnya hanya air limpasan atau lebebihan. Setelah sebagian besar air hujan diinjeksikan ke dalam tanah. Komitmen hanya di Perda Konservasi Air, namun tidak ada aksi nyata. Sumur injeksi sebanyak 1000 titik, katanya, tak sebanding dengan luas Kota Malang.

Untuk mengatasi banjir dan genangan, kawasan yang rutin diterjang banjir harus direlokasi atau beradaptasi dengan meninggikan bangunan rumah. Malang yang memiliki jargon Malang Kota Bunga, katanya, harusnya menyediakan tegakan vegetasi di permukiman. Jika perlu dilakukan secara mandiri dengan membentuk hutan kota berbasis masyarakat. Setiap halaman warga ditanam aneka pepohonan.

Menciptakan hutan kota urban, dibentuk dari tanaman dalam polibag besar. Atau warga tak punya tanah, pemerintah menyumbang bibit tanaman. Selama ini hutan kota di kawasan area publik.

Selain itu juga keteladanan ekologi. Dibutuhkan birokorat yang biokratis, yang mempertimbangkan lingkungan. Tata ruang yang sebagai kebijakaan pengembangan daya tampung lingkungan. Sehingga Malang menjadi kota yang humanis tidak sakit.

Banjir Kota Malang di Media Sosial